Sebagai manusia biasa, rasa malas memang kerap menghampiri kita. Termasuk dalam ibadah berinteraksi dengan Al Qur'an. Membacanya, menghafalnya, memahaminya dan mengamalkannya. Namun ada kalanya jika rasa malas itu kita turuti dan tidak kita sekat, ia akan semakin larut.
Bagaimana caranya berhenti dari kemalasan tersebut?
Bercermin. Ya, bercermin kepada orang lain yang bersemangat dalam ber-Al Qur'an sedikit banyak akan "menghentak" kita dari mengikuti Si Rasa Malas.
Mari kita ikuti beberapa penggal kisah sederhana dari mereka yang bersemangat dalam ber-Al Qur'an. Semoga semangat mereka menjadi "virus" positif bagi jiwa kita.
Selamat menyimak!
Cermin 1 :
Kami memanggilnya Kak Lin. Seorang Ibu Rumah Tangga di sebuah pemukiman, di negeri Selangor. Hidupnya
terbilang cukup sejahtera dan telah dikaruniakan 3 orang anak yang sudah menginjak usia remaja.
Sudah 14 tahun ia menjadi Muslimah namun hingga kini Islam
dan ajarannya masih cukup asing baginya. Termasuk membaca Al Qur'an. Huruf
Hijaiyah pun ia tidak tahu berapa jumlahnya dan bagaimana cara mengucapkannya.
Syukurlah ia mendapat jodoh dengan seorang suami yang baik. Encik Shobari adalah
seorang suami dan ayah yang berperangai lembut, ramah dan memberikan perhatian
kepada Keluarganya. Sudah beberapa kali ia mencarikan seorang guru mengaji perempuan bagi
isterinya, namun belum "jodoh". Hingga akhirnya kami dipertemukan
dalam sebuah kontak telepon.
Kak Lin sangat bersemangat. Ia mulai mengaji dari IQRA 1.
Satu persatu huruf-huruf hijaiyah itu ia pelajari, ia ucapkan dan kemudian ia
rangkaikan. Ia belajar 3 kali seminggu, setelah shalat maghrib sampai pukul 8.30
malam. Tidak ketinggalan, ketiga anaknya pun –yang sebenarnya jauh lebih pandai
membaca dari pada ibu mereka – ikut mengaji.
Akhirnya Kak
Lin bisa mengaji.....
Cermin 2 :
Namanya Rizal. Salah seorang peserta Tahsin Al Qur'an
(program perbaikan bacaan Al Qur’an) dalam sebuah Institusi Al Qur’an yang kami kelola. Usianya
71 tahun. Berasal dari daerah Padang, sumatera Barat. Kulitnya sudah tampak
keriput namun tatapan matanya masih kelihatan segar. Begitu semangat ia mengaji hingga hampir
tidak pernah “absen” jika tidak karena ada hal yang sangat urgent. Bacaannya masih susah. Sepertinya ia belum
akrab dengan huruf-huruf hijaiyah. Lidahnya pun seperti berat untuk mengucapkan
beberpa huruf seperti ( ظ ),( ض ) dan (ص ).
"Tak Pandai menari, salahkan lantai yang licin",
itulah salah satu peribahasa yang pernah saya dengar darinya. Maksudnya, banyak
orang yang beralasan untuk menutupi beberapa kekurangannya. Seperti :
"saya tidak pandai mengaji karena alasan ini..." atau "saya
tidak bisa mengucapkan huruf ini karena alasan itu..."
Banyak alasan..
Ia menyesal
tidak belajar mengaji
sejak kecil, namun syukurlah sekarang ia sudah pandai mengaji...
Cermin 3 :
"Ustadz, anak saya ingin masuk Pesantren tahfizh. Namun
saya tidak punya biaya untuk membayar iuran bulanan", kata Pak Jabir.
Suatu hari ia memang sengaja datang ke pesantren saya. Ditemani 2 orang
puteranya : Abdul Aziz dan Hamzah.
Keluarganya sangat sederhana (baca : miskin). Pak Jabir hanya
berpenghasilan 20 ribu rupiah hingga 25 ribu rupiah sehari dari pekerjaan yang tidak tetap.
Meskipun demikian, ia seorang sosok yang taat beribadah, bahkan dari perbincangannya, saya dapat menangkap antusiasme dan
semangatnya berIslam.
"Ustadz, kalau ada tolong carikan beasiswa untuk kedua
anak saya ini. Atau paling tidak saya meminta keringanan biaya, mudah-mudahan
saya bisa berusaha membayarnya", lanjutnya kepada saya.
Akhirnya Abdul Aziz dan Hamzah, kedua kakak beradik ini kami terima di Pondok Tahfizh kami dengan beasiswa. Al
hamdulillah keduanya memiliki bacaan yang bagus dan diberikan semangat serta
kemudahan dalam menghafal...
Cermin 4 :
Sepertinya cukup susah untuk menjumpai seorang anak seperti
Ghazin. Usianya baru 11 tahun namun sudah hafal Al Qur'an 30 Juz. Sewaktu duduk di kelas 5 SD, ia sudah menyelesaikan
hafalannya. Kemudian ia dengan satu orang adiknya bergabung di Pondok
Tahfizh kami
dengan niat melancarkan hafalan dan meneruskan belajar di SDIT yang tidak jauh dari Pesantren.
Ghazin berasal dari keluarga muslim yang taat. Kedua orang
tuanya adalah tokoh masyarakat yang selalu menjadi contoh dan rujukan.
Anak-anaknya selain belajar akademik di sekolah seperti anak-anak
sebayanya,
mereka pun adalah para penghafal Al Qur'an.
Di Bulan Suci Ramadhan tahun 2009, Sebuah Program
Al Qur’an diadakan oleh
sebuah Pondok Tahfizh besar, yaitu “Program 1000 kali khatam Al Qur'an”. Dan Ghazin menjadi murid terbaik dengan membaca 20 Juz
sehari dan mengkhatamkan 20 kali Khatam selama bulan
suci Ramadhan tersebut.
Subhanallah, Maha Suci Engkau yang
telah menjadikan diantara hamba-hambaNya para pemelihara Al Qur'an...
Baca juga:
Meraih Syurga dengan Al Qur'an
Baca juga:
Meraih Syurga dengan Al Qur'an
No comments:
Post a Comment