Tuesday, September 20, 2016

Cermin-Cermin Al Qur'an

Sebagai manusia biasa, rasa malas memang kerap menghampiri kita. Termasuk dalam ibadah berinteraksi dengan Al Qur'an. Membacanya, menghafalnya, memahaminya dan mengamalkannya. Namun ada kalanya jika rasa malas itu kita turuti dan tidak kita sekat, ia akan semakin larut.

Bagaimana caranya berhenti dari kemalasan tersebut?

Bercermin. Ya, bercermin kepada orang lain yang bersemangat dalam ber-Al Qur'an sedikit banyak akan "menghentak" kita dari mengikuti Si Rasa Malas.

Mari kita ikuti beberapa penggal kisah sederhana dari mereka yang bersemangat dalam ber-Al Qur'an. Semoga semangat mereka menjadi "virus" positif bagi jiwa kita.

Selamat menyimak!

Cermin 1 :

Kami memanggilnya Kak Lin. Seorang Ibu Rumah Tangga di sebuah pemukiman, di negeri Selangor. Hidupnya terbilang cukup sejahtera dan telah dikaruniakan 3 orang anak yang sudah menginjak usia remaja.

Sudah 14 tahun ia menjadi Muslimah namun hingga kini Islam dan ajarannya masih cukup asing baginya. Termasuk membaca Al Qur'an. Huruf Hijaiyah pun ia tidak tahu berapa jumlahnya dan bagaimana cara mengucapkannya.

Syukurlah ia mendapat jodoh dengan seorang suami yang baik. Encik Shobari adalah seorang suami dan ayah yang berperangai lembut, ramah dan memberikan perhatian kepada Keluarganya. Sudah beberapa kali ia mencarikan seorang guru mengaji perempuan bagi isterinya, namun belum "jodoh". Hingga akhirnya kami dipertemukan dalam sebuah kontak telepon.
Kak Lin sangat bersemangat. Ia mulai mengaji dari IQRA 1. Satu persatu huruf-huruf hijaiyah itu ia pelajari, ia ucapkan dan kemudian ia rangkaikan. Ia belajar 3 kali seminggu, setelah shalat maghrib sampai pukul 8.30 malam. Tidak ketinggalan, ketiga anaknya pun –yang sebenarnya jauh lebih pandai membaca dari pada ibu mereka – ikut mengaji.

Akhirnya Kak Lin bisa mengaji.....

Cermin 2 :

Namanya Rizal. Salah seorang peserta Tahsin Al Qur'an (program perbaikan bacaan Al Qur’an) dalam sebuah Institusi Al Qur’an yang kami kelola. Usianya 71 tahun. Berasal dari daerah Padang, sumatera Barat. Kulitnya sudah tampak keriput namun tatapan matanya masih kelihatan segar.  Begitu semangat ia mengaji hingga hampir tidak pernah absen jika tidak karena ada hal yang sangat urgent. Bacaannya masih susah. Sepertinya ia belum akrab dengan huruf-huruf hijaiyah. Lidahnya pun seperti berat untuk mengucapkan beberpa huruf seperti ( ظ ),( ض ) dan  (ص ).

"Tak Pandai menari, salahkan lantai yang licin", itulah salah satu peribahasa yang pernah saya dengar darinya. Maksudnya, banyak orang yang beralasan untuk menutupi beberapa kekurangannya. Seperti : "saya tidak pandai mengaji karena alasan ini..." atau "saya tidak bisa mengucapkan huruf ini karena alasan itu..."
Banyak alasan..

Ia menyesal tidak belajar mengaji sejak kecil, namun syukurlah sekarang ia sudah pandai mengaji...

Cermin 3 :

"Ustadz, anak saya ingin masuk Pesantren tahfizh. Namun saya tidak punya biaya untuk membayar iuran bulanan", kata Pak Jabir. Suatu hari ia memang sengaja datang ke pesantren saya. Ditemani 2 orang puteranya : Abdul Aziz dan Hamzah.

Keluarganya sangat sederhana (baca : miskin). Pak Jabir hanya berpenghasilan 20 ribu rupiah hingga 25 ribu rupiah sehari dari pekerjaan yang tidak tetap. Meskipun demikian, ia seorang sosok yang taat beribadah, bahkan dari perbincangannya, saya dapat menangkap antusiasme dan semangatnya berIslam.

"Ustadz, kalau ada tolong carikan beasiswa untuk kedua anak saya ini. Atau paling tidak saya meminta keringanan biaya, mudah-mudahan saya bisa berusaha membayarnya", lanjutnya kepada saya.

Akhirnya Abdul Aziz dan Hamzah, kedua kakak beradik  ini kami terima di Pondok Tahfizh kami dengan beasiswa. Al hamdulillah keduanya memiliki bacaan yang bagus dan diberikan semangat serta kemudahan dalam menghafal...

Cermin 4 :

Sepertinya cukup susah untuk menjumpai seorang anak seperti Ghazin. Usianya baru 11 tahun namun sudah hafal Al Qur'an 30 Juz. Sewaktu duduk di kelas 5 SD, ia sudah menyelesaikan hafalannya. Kemudian ia dengan satu orang adiknya bergabung di Pondok Tahfizh kami dengan niat melancarkan hafalan dan meneruskan belajar di SDIT yang tidak jauh dari Pesantren.

Ghazin berasal dari keluarga muslim yang taat. Kedua orang tuanya adalah tokoh masyarakat yang selalu menjadi contoh dan rujukan. Anak-anaknya selain belajar akademik di sekolah seperti anak-anak sebayanya, mereka pun adalah para penghafal Al Qur'an.

Di Bulan Suci Ramadhan tahun 2009, Sebuah Program Al Qur’an diadakan oleh sebuah Pondok Tahfizh besar, yaitu “Program 1000 kali khatam Al Qur'an. Dan Ghazin menjadi murid terbaik dengan membaca 20 Juz sehari dan mengkhatamkan 20 kali Khatam selama bulan suci Ramadhan tersebut.

Subhanallah, Maha Suci Engkau yang telah menjadikan diantara hamba-hambaNya para pemelihara Al Qur'an...

Baca juga:
Meraih Syurga dengan Al Qur'an

No comments:

Post a Comment