Saturday, September 24, 2016

Bahasa Iman (2)

Kalimat yang sama juga pernah diungkapkan oleh Umar bin Khattab di hadapan Hajar Aswad. Ia berkata kepada batu yang menjadi bagian utama dari bangunan Ka'bah itu dengan ungkapannya yang populer :

((وَاللهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ)) رواه البخاري (1597 ) ومسلم (1270)

"Demi Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak mampu membuat bahaya atau manfaat. Jikalau aku tidak melihat Rasulullah r menciummu, niscaya aku juga tidak akan menciummu" (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Ketundukkan inilah yang akan membuat seseorang mudah memahami Islam. Ia akan bersegera menunaikan segala perintah Allah I dan Rasulnya r, serta tidak akan ragu-ragu lagi meninggalkan berbagai larangan. Demikian itu baik ia mengetahui hikmah di balik syari'at itu atau pun belum mengetahuinya. Ia akan menempatkan akal dan logikanya di belakang kebenaran syari'at. Ia akan menundukkannya atas apa yang difirmankan Allah I atau yang disabdakan oleh Rasulullah r. Para ulama mengungkapkan hal ini dengan statementnya :

اَلْعَقْلُ الصَّحِيْحُ لَا يُعَارِضَ النَّقْلَ الصَّحِيْحَ

"Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan nash (Al Qur'an dan Sunnah) yang shahih"

Inilah yang ingin saya tegaskan sebelum kita membahas dan menyelami ayat-ayat dan hadits tentang keutamaan Al Qur'an secara khusus. Ayat-ayat dan hadits-hadits itu hanya akan dipahami oleh hati yang penuh keimanan, tunduk sepenuhnya kepada Wahyu. Hati yang masih melekat erat dengan logika manusiawi, hitungan untung rugi seorang pengusaha atau orang yang harapan terhadap dunianya terlalu besar akan susah untuk memahami perkara ini. Inilah bahasa Iman. Bahasa yang dimiliki oleh orang-orang yang hatinya lebih dekat kepada Allah I dan terus berusaha mendekat.

Dan inilah pula – menurut saya – yang mesti menjadi prinsip dalam memahami seluruh ajaran Islam. Bagi kita yang lemah atau belum mendalam pemahaman Islamnya, akan banyak perkara dan benda yang tidak kita mengerti. Namun, jika nash (Al Qur'an dan Hadits) itu dapat di pertanggungjawabkan validitasnya (keshahihannya) maka kita mesti yakin. Dahulukanlah Bahasa Iman kita, baru kemudian kita berusaha untuk memahami dengan akal kita.

Syi'ar  "mengedepankan iman" inilah yang juga di miliki oleh generasi terbaik. Generasi Rasulullah r, mereka berkata:

(تَعَلَّمْنَا الإِيْمَانَ قَبْلَ القُرْآنَ، فَلَمَّا تَعَلَّمْنَا القُرْآنَ ازْدَدْنَا إِيْمَاناً)
"Kami mempelajari Iman sebelum Al Qur'an. Ketika kami memahami Al Qur'an, bertambahlah iman kami".
Memahami bahasa iman berarti kita menyiapkan segenap hati dan jiwa untuk menerima tanpa ragu setiap ayat dan hadits. Menerimanya dengan penuh keterbukaan seolah – olah Allah I dan Rasulnya sedang memberikan intruksi (perintah atau larangan). Menerima dan membenarkan 100 % apa saja yang dikabarkan Allah I dan Rasulnya r tentang perkara-perkara gaib seperti surga dan neraka. Mengagungkan apa yang selayaknya kita agungkan dan menganggap kecil apa yang memang tidak berharga dan kecil di sisi Allah I dan Rasul-Nya r.

Bahasa Iman inilah sekali lagi yang ingin kita berikan fokus dalam menyikapi setiap ayat dan hadits yang akan diuraikan dalam tema Al Qur'an kita. Hadirkanlah keimanan itu dalam hati dan kemudian resapilah setiap untaian ayat atau rangkaian hadits. Semoga ghirah (semangat) ruhiyah itu muncul dan pandangan kita jauh ke negeri akhirat. Aamiin !

No comments:

Post a Comment