Kalimat yang sama juga pernah diungkapkan oleh Umar bin
Khattab di hadapan
Hajar Aswad. Ia berkata kepada batu yang menjadi bagian utama dari bangunan
Ka'bah itu dengan ungkapannya yang populer :
((وَاللهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ
حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ يُقَبِّلُكَ
مَا قَبَّلْتُكَ)) رواه البخاري (1597 ) ومسلم (1270)
"Demi
Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak mampu membuat bahaya
atau manfaat. Jikalau aku tidak melihat Rasulullah r menciummu, niscaya aku juga tidak akan menciummu" (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Ketundukkan
inilah yang akan membuat seseorang mudah memahami Islam. Ia akan bersegera menunaikan
segala perintah Allah I dan Rasulnya r, serta tidak akan ragu-ragu lagi meninggalkan berbagai larangan. Demikian
itu baik ia mengetahui hikmah di balik syari'at itu atau pun belum
mengetahuinya. Ia akan menempatkan akal dan logikanya di belakang kebenaran syari'at.
Ia akan menundukkannya atas apa yang difirmankan Allah I atau yang disabdakan oleh Rasulullah r. Para ulama mengungkapkan hal ini dengan statementnya :
اَلْعَقْلُ الصَّحِيْحُ
لَا يُعَارِضَ النَّقْلَ الصَّحِيْحَ
"Akal yang sehat
tidak akan bertentangan dengan nash (Al Qur'an dan Sunnah) yang shahih"
Inilah
yang ingin saya tegaskan sebelum kita membahas dan menyelami ayat-ayat dan
hadits tentang keutamaan Al Qur'an secara khusus. Ayat-ayat dan hadits-hadits
itu hanya akan dipahami oleh hati yang penuh keimanan, tunduk sepenuhnya kepada
Wahyu. Hati yang masih melekat erat dengan logika manusiawi, hitungan untung
rugi seorang pengusaha atau orang yang harapan terhadap dunianya terlalu besar akan
susah untuk memahami perkara ini. Inilah bahasa Iman. Bahasa yang dimiliki oleh
orang-orang yang hatinya lebih dekat kepada Allah I dan terus berusaha mendekat.
Dan
inilah pula – menurut saya – yang mesti menjadi prinsip dalam memahami seluruh
ajaran Islam. Bagi kita yang lemah atau belum mendalam pemahaman Islamnya, akan
banyak perkara dan benda yang tidak kita mengerti. Namun, jika nash (Al Qur'an
dan Hadits) itu dapat di pertanggungjawabkan validitasnya (keshahihannya) maka
kita mesti yakin. Dahulukanlah Bahasa Iman kita, baru kemudian
kita berusaha untuk memahami dengan akal kita.
Syi'ar "mengedepankan iman" inilah yang
juga di miliki oleh generasi terbaik. Generasi Rasulullah r, mereka berkata:
(تَعَلَّمْنَا الإِيْمَانَ
قَبْلَ القُرْآنَ، فَلَمَّا تَعَلَّمْنَا القُرْآنَ ازْدَدْنَا إِيْمَاناً)
"Kami mempelajari Iman sebelum Al Qur'an. Ketika kami
memahami Al Qur'an, bertambahlah iman kami".
Memahami
bahasa iman berarti kita menyiapkan segenap hati dan jiwa untuk menerima tanpa ragu
setiap ayat dan hadits. Menerimanya dengan penuh keterbukaan seolah – olah
Allah I dan Rasulnya sedang
memberikan intruksi (perintah atau larangan). Menerima dan membenarkan 100 %
apa saja yang dikabarkan Allah I dan Rasulnya r tentang perkara-perkara
gaib seperti surga dan neraka. Mengagungkan apa yang selayaknya kita agungkan
dan menganggap kecil apa yang memang tidak berharga dan kecil di sisi Allah I dan Rasul-Nya r.
Bahasa
Iman inilah sekali lagi yang ingin kita berikan fokus dalam menyikapi setiap
ayat dan hadits yang akan diuraikan dalam tema Al Qur'an kita. Hadirkanlah
keimanan itu dalam hati dan kemudian resapilah setiap untaian ayat atau
rangkaian hadits. Semoga ghirah (semangat) ruhiyah itu muncul dan
pandangan kita jauh ke negeri akhirat. Aamiin !
No comments:
Post a Comment