Saturday, September 24, 2016

Bahasa Iman

“Al Qur’an adalah Ruh Robbani yang menghidupkan akal dan hati, ia juga adalah Dustur (Undang-undang) yang mengatur kehidupan individu dan bangsa” DR. Yusuf Al Qardhawi[1]

Guru saya pernah menyampaikan sebuah istilah yang sangat berkesan. Sebuah istilah yang akan menguji penyikapan dan keyakinan kita kepada Al Qur’an dan hadits-hadits Rsulullah r. Istilah itu adalah "Bahasa Iman". Bahasa iman yang dimaksud adalah kemampuan untuk dapat menerima, memahami  dan mentadabburi syari'at dengan mengedepankan keimanan sebelum logika berpikir manusia. Menerima ayat Al Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah r sebagai sesuatu yang tidak boleh dibantah lagi, meskipun saat itu kita belum dapat menerimanya.
Konteks "bahasa Iman" akan secara fokus mengarahkan kita untuk selalu rindu negeri akhirat dengan tidak memalingkannya dari kehidupan dunia. Atau dengan kata lain menjadikan segala perilaku dan pekerjaan kita di dunia untuk negeri akhirat. Semua ini tidak akan dipahami hanya dengan akal tanpa iman. Keimanan akan cukup membawa seseorang kepada keselamatan, namun akal tanpa iman akan membuat banyak orang tersesat.
Islam tidak dibangun di atas akal. Melainkan ia terbangun di atas pondasi Iman. Ia juga tidak dibangun di atas pertimbangan logika. Melainkan berdiri tegak di atas Risalah yang di bawa oleh Rasulullah r. Risalah tersebut adalah wahyu yang berasal dari Dzat Pencipta manusia yang mengetahui seluk-beluk dan kemaslahatan manusia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah r menegaskan hal ini dengan sabdanya :
(( لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ )) حديث حسن صحيح

"Tidaklah beriman seorang diantara kamu hingga nafsunya tunduk terhadap risalah yang aku bawa". (Hadits hasan shahih- hadits ke 41 dalam Al Arba'in An Nawawiyah dari ‘Amr bin ‘Ash ra)

Berdasarkan hadits ini dapat di pahami bahwa "Bahasa Iman" hanya akan dipahami oleh mereka yang memiliki ketundukan penuh kepada Risalah Islam. Selagi hukum tersebut berasal dari Al Qur'an atau Hadits (yang boleh dijadikan hujjah) ia tidak akan menolaknya, meskipun saat itu mungkin ia belum dapat menerima atau memahami secara logika dan akalnya.

Bahasa inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar As Shiddiq ra dalam peristiwa Isra dan Mi'raj. Katika banyak kaum Quraisy menepukkan kedua tangan dan memegang kepala sebagai tanda tidak percaya dan merasa heran, maka Abu Bakar berkata dengan kalimat yang tegas : "Jika ia (Rasulullah r) benar-benar mengatakannya (Isra dan Mikraj) maka aku percaya". Ketika dikatakan kepadanya: "Bagaimana engkau membenarkannya, sementara ia mengaku tadi malam pergi ke Baitul Maqdis dan dia sudah kembali lagi sebelum shubuh ?". Abu Bakar menjawab : " Ya aku percaya, bahkan aku akan membenarkannya meskipun lebih hebat dari itu ". (diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak).

 Inilah juga yang ditegaskan Ali ra dalam ungkapannya :

((لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأيِ لَكَانَ أّسْفَلَ الخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ)) رواه أبو داود (162) وإسناده صحيح.
"Seandainya agama (syari'at) itu berasaskan kepada akal, niscaya bagian bawah Khuff (sepatu yang menutupi hinga mata kaki) lebih utama untuk diusap berbanding bagian atasnya" (Riwayat Abu Dawud dengan sanad shahih).





[1] DR. Yusuf Al Qardhawi, Kaifa Nata’amalu ma’al Qur’anil Azhim. (Hlm.20)

No comments:

Post a Comment