“Al Qur’an adalah Ruh Robbani yang
menghidupkan akal dan hati, ia juga adalah Dustur (Undang-undang) yang mengatur
kehidupan individu dan bangsa” DR. Yusuf Al
Qardhawi[1]
Guru
saya pernah menyampaikan sebuah istilah yang sangat berkesan. Sebuah istilah
yang akan menguji penyikapan dan keyakinan kita kepada Al Qur’an dan hadits-hadits
Rsulullah r.
Istilah itu adalah "Bahasa Iman". Bahasa iman yang dimaksud
adalah kemampuan untuk dapat menerima, memahami
dan mentadabburi syari'at dengan mengedepankan keimanan sebelum logika
berpikir manusia. Menerima ayat Al Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah r sebagai
sesuatu yang tidak boleh dibantah lagi, meskipun saat itu kita belum dapat
menerimanya.
Konteks
"bahasa Iman" akan secara fokus mengarahkan kita untuk selalu rindu negeri akhirat
dengan tidak memalingkannya dari kehidupan dunia. Atau dengan kata lain
menjadikan segala perilaku dan pekerjaan kita di dunia untuk negeri akhirat.
Semua ini tidak akan dipahami hanya dengan akal tanpa iman. Keimanan akan cukup
membawa seseorang kepada keselamatan, namun akal tanpa iman akan membuat banyak
orang tersesat.
Islam
tidak dibangun di atas akal. Melainkan ia terbangun di atas pondasi Iman. Ia juga tidak dibangun di atas pertimbangan logika.
Melainkan berdiri tegak di atas Risalah yang di bawa oleh Rasulullah r. Risalah tersebut adalah
wahyu yang berasal dari Dzat Pencipta manusia yang mengetahui
seluk-beluk dan kemaslahatan manusia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah r menegaskan hal ini dengan
sabdanya :
(( لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ
هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ )) حديث حسن صحيح
"Tidaklah
beriman seorang diantara kamu hingga
nafsunya tunduk terhadap risalah yang aku bawa".
(Hadits hasan shahih- hadits ke 41 dalam Al Arba'in An Nawawiyah dari ‘Amr bin ‘Ash ra)
Berdasarkan hadits
ini dapat di pahami bahwa "Bahasa Iman" hanya akan dipahami
oleh mereka yang memiliki ketundukan penuh kepada Risalah Islam. Selagi hukum tersebut
berasal
dari Al Qur'an atau Hadits (yang boleh dijadikan hujjah) ia tidak akan
menolaknya, meskipun saat itu mungkin ia belum dapat menerima atau
memahami secara logika dan akalnya.
Bahasa inilah yang
ditunjukkan oleh Abu Bakar As Shiddiq ra dalam peristiwa Isra
dan Mi'raj. Katika banyak kaum Quraisy menepukkan kedua tangan dan memegang
kepala sebagai tanda tidak percaya dan merasa heran, maka Abu Bakar berkata dengan kalimat
yang tegas : "Jika ia (Rasulullah r)
benar-benar mengatakannya (Isra dan Mikraj) maka aku
percaya". Ketika dikatakan kepadanya: "Bagaimana engkau
membenarkannya, sementara ia mengaku tadi malam pergi ke Baitul Maqdis dan dia
sudah kembali lagi sebelum shubuh ?". Abu Bakar menjawab : " Ya aku
percaya, bahkan aku akan membenarkannya meskipun lebih hebat dari itu ".
(diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak).
Inilah juga yang ditegaskan Ali ra dalam
ungkapannya :
((لَوْ
كَانَ الدِّينُ بِالرَّأيِ لَكَانَ أّسْفَلَ الخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ))
رواه أبو داود (162) وإسناده صحيح.
"Seandainya
agama (syari'at) itu berasaskan kepada akal, niscaya bagian bawah Khuff (sepatu yang menutupi hinga mata
kaki) lebih utama
untuk diusap berbanding bagian atasnya" (Riwayat Abu Dawud dengan sanad shahih).
No comments:
Post a Comment