Saturday, October 29, 2016

S-A-A-D-A-H: Formula untuk Keluarga Qur’ani

Ilustrasi: Google

Menjadi keluarga Qur’ani adalah dambaan setiap kita. Kehadiran anak yang rajin membaca Al Qur’an dan suasana rumah yang hangat damai dengan bacaan Al Qur’an adalah dambaan setiap keluarga. Apalagi keluarga baru yang biasanya masih penuh dengan idealisme.

Selain itu, dengan adanya suasana Qur’ani maka sifat sakinah, mawaddah warahmah menjadi sesuatu yang pasti adanya. Sebab Allah SWT menjanjikan akan hadirnya rasa cinta kasih diantara mereka yang senantiasa menegakkan Iman dan amal sholeh (QS. Maryam, 96).

Namun bagaimanakan menjadikan keluarga kita sebagai keluarga Qur’ani?

Pertanyaan yang sangat bagus.

Saya telah lama memikirkan jawabannya, terutama dalam mendidik anak-anak menghafal Al Qur’an. Bagaimana caranya? Bagaimana polanya?. Sehingga akhirnya ketika saya diminta mengisi seminar Keluarga Al Qur’an pada tahun 2016, saya berusaha keras mencari jawabannya. Maka ketemulah satu Formula yang kami sebut dengan Formula S-A-A-D-A-H. Ya, formula SAADAH. Saya coba menyusunya agar mudah diingat dan tetap bisa memiliki makna yang menyeluruh.

1.      S- Syaikh
Yang pertama adalah SYAIKH. Artinya bahwa untuk melahirkan dan membentuk anak-anak menjadi generasi Al Qur’an, kita perlu memilihkan untuk mereka guru-guru yang berkompeten. Memiliki sifat Ikhlas, kapasitas ilmu yang mumpuni dan tekun mengajar anak-anak kita. Kehadiran guru adalah perlu. Merekalah yang akan membimbing anak-anak kita membaca Al Qur’an, membetulkan bacaan mereka, memotivasi mereka dan mengumpulkan mereka bersama rekan-rekan sepembelajarannya dalam suasana yang kondusif. Terlebih lagi, dalam banyak kebiasaan anak-anak akan mudah taat, “nurut” dan lebih menghargai gurunya ketimbang orangtuanya.

Begitu juga, tidak banyak dari kita yang bisa mengajari secara langsung anak-anaknya. Bisa jadi karena alasan kesibukan, kemampuan, ketekunan atau alasan apa pun. Bahkan tidak ada satu pun dari kita yang bisa mengajari semua ilmu yang dibutuhkan anak-anak untuk berhasil. Sebagaimana kita dulu telah melewati masa-masa dengan banyak guru untuk berhasil, begitu juga dengan anak-anak kita. Mereka perlu lebih banyak lagi para pembimbing dan orang-orang yang bisa mengajari mereka.

2.      A- Azam
Kedua adalah Azam. Yaitu niat, cita-cita dan “mimpi-mimpi” yang harus dimiliki oleh kita sebagai orangtua. Agar hadir anak-anak yang Ahlul Qur’an dan keluarga yang Qur’ani, perlu ada niat dan tekad yang kuat dari kedua orangtua. Banyak diantara kita yang masih dalam tahap “angan-angan” dalam menginginkan sesuatu. Sekedar ingin, sekedar bermimpi namun tidak dibarengi dengan upaya-upaya menuju ke arah sana.

Poin yang membedakan antara angan-angan dan Azam terletak pada usaha, amal dan realisasinya. Orang yang betul-betul berazam terhadapt sesuatu, akan terlihat dalam usahanya. Ia upayakan setiap hari secara istiqomah.

Berkenaan dengan menghadirkan keluarga Qur’ani ini, seseorang yang benar-benar berazam akan terlihat diantaranya dengan: berupaya mengajarkan anak-anaknya di rumah, menghadirkan suasana rumah yang kondusif untuk bersama Al Qur’an, menghindarkan anak-anak dari aktivitas dan perkara yang akan menghalangi kenyamanan bersama Al Qur’an. Begitu juga akan terlihat dari upayanya mencarikan guru/Ustadz bagi anaknya agar bisa belajar lebih tentang Al Qur’an, menyekolahkan di sekolah atau pesantren yang terbaik dan membelanjakan hartanya dalam upaya mencapai cita-cita tersebut.

Jadi niat atau Azam, mutlak di perlukan dalam meraih keluarga Qur’ani. Dan seseorang hanya akan memperoeh dari apa yang ia niatkan. Betul-betul niat dan bukan sekedar angan-angan kosong.

3.      A- Amal
“Ibda’ binafsika”. Mulailah dari diri kamu sendiri. Begitu pesan Nabi SAW. Dalam memndidik anak-anak di rumah, teladan dari orang tua sangat berpengaruh besar. Mereka yang melihat ayah dan ibunya membaca dan menghafal Al Qur’an, akan lebih mudah dan merasa nyaman untuk mengikuti perintah mengaji dan menghafal daripada mereka yang di suruh mengaji dan menghafal namun tidak melihat contoh teladan dari kedua orang tuanya.

“Lisanul haal afshahu min Lisanil Maqaal”. Berdakwah dengan contoh teladan akan lebih fasih dari pada sekedar kata-kata di mulut. Orang yang beramal terlebih dahulu dengan apa yang akan ia ucapkan, akan memiliki bobot dan pengaruh yang besar ketika ia mengucapkannya, dibanding mereka yang hanya menghiasi mulutnya dengan kata-kata. Sebab orang bukan hanya akan mendengar ucapan kita, namun mereka juga akan memperhatikan tingkah laku kita.

Terlebih lagi, anak-anak di rumah yang setiap hari melihat dan memperhatikan kita. Jadi mengamalkan terlebih dahulu interakasi bersama Al Qur’an pada level diri kita adalah wajib. Selain hal itu adalah perintah Allah SWT, juga ia akan sangat efektif dalam mentarbiyah anak-anak.

4.      D- Doa
Doa adalah senjata utama orang-orang beriman. Jangan lupa berdoa dan meminta kepada Allah SWT atas setiap hajat dan keinginan kita. Jika kita hanya bersandar pada usaha dan kerja keras kita, maka itu terlalu lemah. Apalagi terkait hal-hal yang melibatkan ruh dan hati. Hanya orang-orang yang diberikan hidayah dan kecenderungan hati kepada Al Qur’an yang mampu bersama Al Qur’an. Jadi mintalah kepada Allah SWT dalam doa-doa kita agar melunakkan dan memberikan hidayah kepada anak-anak kita, sehingga mereka mudah dan cenderung kepada Al Qur’an.

Dan doa orangtua kepada anaknya adalah doa yang ikhlas dan InsyaAllah akan lebih dekat untuk diiajabah oleh Allah SWT.

5.      A- Ajar
Selain doa dan contoh teladan, sebagai bentuk perhatian orang tua dalam mendidik anak-anaknya maka perlu juga orangtua terjun langsung mengajari mereka. Semampu yang bisa. InsyaAllah kalau sekedar mengajarkan mereka membaca Iqra dan mengeja bacaan Al Qur’an, sebagian besar dari kita mampu melakukannya.

Karena pada hakikatnya, tanggung jawab pendidikan itu terletak pada orang tua. Ibu dan ayah anak-anak. Sebagaimana yang Allah SWT tegaskan dalam firmannya: “Wajai orang-orang beriman, jagalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka” (QS. At Tahrim, 6).

Oleh karena itu, tidaklah betul jika kita menyerahkan 100 % pendidikan anak-anak kita ke sekolah atau pesantren. Sebagus apa pun lembaga pendidikan tersebut, pasti di sana ada peran orangtua yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.

Jadi ajarilah mereka semampu kita. Mungkin bukan ilmunya yang penting, tapi upaya kita, perhatian dan kasih sayang kita.

6.      H- Halal
Halal itu wajib. Dalam segala hal. Makanan, minuman, pekerjaan, pakaian, sumber penghasilan dan sebagainya. Karena kalau bukan halal, berarti haram atau shubhat. Dan setiap daging yang tumbuh dari sumber haram, maka neraka adalah tempatnya (Na’udzubillah). (HR. Imam Ahmad).

Halal juga berarti berkah. Dan keberkahan itu akan terlihat pada anak-anak yang sholeh dan baik, “nurut” kepada orangtua dan taat beribadah. Akan terlihat pula dalam keluarga yang penuh sakinah, sehat-sehat dan merasa cukup dengan kesederhanaan. Berkah itu tidak mesti melimpah, namun dengan sikap Qona’ah semuanya menjadi terasa cukup.

Agar anak-anak memiliki kecintaan kepada Al Qur’an, dimudahkan untuk membaca dan menghafalkannya maka sumber yang halal mutlak diperlukan. Sebab sumber yang haram atau syubhat akan sangat terlihat pengaruhnya dalam perangai yang buruk, perilaku yang tidak baik, keengganan untuk beribadah dan susahnya untuk beribadah.

Semoga dengan formula S-A-A-D-A-H ini kita dapat melahirkan generasi Qur’ani di masa yang akan datang dan merekalah yang akan menjadi pemberat timbangan Amal sholeh kita di Yaumil Akhir. Amiin

@am.yusuf

KL, 17 Oktober 2016

No comments:

Post a Comment