Saturday, October 29, 2016

S-A-A-D-A-H: Formula untuk Keluarga Qur’ani

Ilustrasi: Google

Menjadi keluarga Qur’ani adalah dambaan setiap kita. Kehadiran anak yang rajin membaca Al Qur’an dan suasana rumah yang hangat damai dengan bacaan Al Qur’an adalah dambaan setiap keluarga. Apalagi keluarga baru yang biasanya masih penuh dengan idealisme.

Selain itu, dengan adanya suasana Qur’ani maka sifat sakinah, mawaddah warahmah menjadi sesuatu yang pasti adanya. Sebab Allah SWT menjanjikan akan hadirnya rasa cinta kasih diantara mereka yang senantiasa menegakkan Iman dan amal sholeh (QS. Maryam, 96).

Namun bagaimanakan menjadikan keluarga kita sebagai keluarga Qur’ani?

Pertanyaan yang sangat bagus.

Saya telah lama memikirkan jawabannya, terutama dalam mendidik anak-anak menghafal Al Qur’an. Bagaimana caranya? Bagaimana polanya?. Sehingga akhirnya ketika saya diminta mengisi seminar Keluarga Al Qur’an pada tahun 2016, saya berusaha keras mencari jawabannya. Maka ketemulah satu Formula yang kami sebut dengan Formula S-A-A-D-A-H. Ya, formula SAADAH. Saya coba menyusunya agar mudah diingat dan tetap bisa memiliki makna yang menyeluruh.

1.      S- Syaikh
Yang pertama adalah SYAIKH. Artinya bahwa untuk melahirkan dan membentuk anak-anak menjadi generasi Al Qur’an, kita perlu memilihkan untuk mereka guru-guru yang berkompeten. Memiliki sifat Ikhlas, kapasitas ilmu yang mumpuni dan tekun mengajar anak-anak kita. Kehadiran guru adalah perlu. Merekalah yang akan membimbing anak-anak kita membaca Al Qur’an, membetulkan bacaan mereka, memotivasi mereka dan mengumpulkan mereka bersama rekan-rekan sepembelajarannya dalam suasana yang kondusif. Terlebih lagi, dalam banyak kebiasaan anak-anak akan mudah taat, “nurut” dan lebih menghargai gurunya ketimbang orangtuanya.

Begitu juga, tidak banyak dari kita yang bisa mengajari secara langsung anak-anaknya. Bisa jadi karena alasan kesibukan, kemampuan, ketekunan atau alasan apa pun. Bahkan tidak ada satu pun dari kita yang bisa mengajari semua ilmu yang dibutuhkan anak-anak untuk berhasil. Sebagaimana kita dulu telah melewati masa-masa dengan banyak guru untuk berhasil, begitu juga dengan anak-anak kita. Mereka perlu lebih banyak lagi para pembimbing dan orang-orang yang bisa mengajari mereka.

2.      A- Azam
Kedua adalah Azam. Yaitu niat, cita-cita dan “mimpi-mimpi” yang harus dimiliki oleh kita sebagai orangtua. Agar hadir anak-anak yang Ahlul Qur’an dan keluarga yang Qur’ani, perlu ada niat dan tekad yang kuat dari kedua orangtua. Banyak diantara kita yang masih dalam tahap “angan-angan” dalam menginginkan sesuatu. Sekedar ingin, sekedar bermimpi namun tidak dibarengi dengan upaya-upaya menuju ke arah sana.

Poin yang membedakan antara angan-angan dan Azam terletak pada usaha, amal dan realisasinya. Orang yang betul-betul berazam terhadapt sesuatu, akan terlihat dalam usahanya. Ia upayakan setiap hari secara istiqomah.

Berkenaan dengan menghadirkan keluarga Qur’ani ini, seseorang yang benar-benar berazam akan terlihat diantaranya dengan: berupaya mengajarkan anak-anaknya di rumah, menghadirkan suasana rumah yang kondusif untuk bersama Al Qur’an, menghindarkan anak-anak dari aktivitas dan perkara yang akan menghalangi kenyamanan bersama Al Qur’an. Begitu juga akan terlihat dari upayanya mencarikan guru/Ustadz bagi anaknya agar bisa belajar lebih tentang Al Qur’an, menyekolahkan di sekolah atau pesantren yang terbaik dan membelanjakan hartanya dalam upaya mencapai cita-cita tersebut.

Jadi niat atau Azam, mutlak di perlukan dalam meraih keluarga Qur’ani. Dan seseorang hanya akan memperoeh dari apa yang ia niatkan. Betul-betul niat dan bukan sekedar angan-angan kosong.

3.      A- Amal
“Ibda’ binafsika”. Mulailah dari diri kamu sendiri. Begitu pesan Nabi SAW. Dalam memndidik anak-anak di rumah, teladan dari orang tua sangat berpengaruh besar. Mereka yang melihat ayah dan ibunya membaca dan menghafal Al Qur’an, akan lebih mudah dan merasa nyaman untuk mengikuti perintah mengaji dan menghafal daripada mereka yang di suruh mengaji dan menghafal namun tidak melihat contoh teladan dari kedua orang tuanya.

“Lisanul haal afshahu min Lisanil Maqaal”. Berdakwah dengan contoh teladan akan lebih fasih dari pada sekedar kata-kata di mulut. Orang yang beramal terlebih dahulu dengan apa yang akan ia ucapkan, akan memiliki bobot dan pengaruh yang besar ketika ia mengucapkannya, dibanding mereka yang hanya menghiasi mulutnya dengan kata-kata. Sebab orang bukan hanya akan mendengar ucapan kita, namun mereka juga akan memperhatikan tingkah laku kita.

Terlebih lagi, anak-anak di rumah yang setiap hari melihat dan memperhatikan kita. Jadi mengamalkan terlebih dahulu interakasi bersama Al Qur’an pada level diri kita adalah wajib. Selain hal itu adalah perintah Allah SWT, juga ia akan sangat efektif dalam mentarbiyah anak-anak.

4.      D- Doa
Doa adalah senjata utama orang-orang beriman. Jangan lupa berdoa dan meminta kepada Allah SWT atas setiap hajat dan keinginan kita. Jika kita hanya bersandar pada usaha dan kerja keras kita, maka itu terlalu lemah. Apalagi terkait hal-hal yang melibatkan ruh dan hati. Hanya orang-orang yang diberikan hidayah dan kecenderungan hati kepada Al Qur’an yang mampu bersama Al Qur’an. Jadi mintalah kepada Allah SWT dalam doa-doa kita agar melunakkan dan memberikan hidayah kepada anak-anak kita, sehingga mereka mudah dan cenderung kepada Al Qur’an.

Dan doa orangtua kepada anaknya adalah doa yang ikhlas dan InsyaAllah akan lebih dekat untuk diiajabah oleh Allah SWT.

5.      A- Ajar
Selain doa dan contoh teladan, sebagai bentuk perhatian orang tua dalam mendidik anak-anaknya maka perlu juga orangtua terjun langsung mengajari mereka. Semampu yang bisa. InsyaAllah kalau sekedar mengajarkan mereka membaca Iqra dan mengeja bacaan Al Qur’an, sebagian besar dari kita mampu melakukannya.

Karena pada hakikatnya, tanggung jawab pendidikan itu terletak pada orang tua. Ibu dan ayah anak-anak. Sebagaimana yang Allah SWT tegaskan dalam firmannya: “Wajai orang-orang beriman, jagalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka” (QS. At Tahrim, 6).

Oleh karena itu, tidaklah betul jika kita menyerahkan 100 % pendidikan anak-anak kita ke sekolah atau pesantren. Sebagus apa pun lembaga pendidikan tersebut, pasti di sana ada peran orangtua yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.

Jadi ajarilah mereka semampu kita. Mungkin bukan ilmunya yang penting, tapi upaya kita, perhatian dan kasih sayang kita.

6.      H- Halal
Halal itu wajib. Dalam segala hal. Makanan, minuman, pekerjaan, pakaian, sumber penghasilan dan sebagainya. Karena kalau bukan halal, berarti haram atau shubhat. Dan setiap daging yang tumbuh dari sumber haram, maka neraka adalah tempatnya (Na’udzubillah). (HR. Imam Ahmad).

Halal juga berarti berkah. Dan keberkahan itu akan terlihat pada anak-anak yang sholeh dan baik, “nurut” kepada orangtua dan taat beribadah. Akan terlihat pula dalam keluarga yang penuh sakinah, sehat-sehat dan merasa cukup dengan kesederhanaan. Berkah itu tidak mesti melimpah, namun dengan sikap Qona’ah semuanya menjadi terasa cukup.

Agar anak-anak memiliki kecintaan kepada Al Qur’an, dimudahkan untuk membaca dan menghafalkannya maka sumber yang halal mutlak diperlukan. Sebab sumber yang haram atau syubhat akan sangat terlihat pengaruhnya dalam perangai yang buruk, perilaku yang tidak baik, keengganan untuk beribadah dan susahnya untuk beribadah.

Semoga dengan formula S-A-A-D-A-H ini kita dapat melahirkan generasi Qur’ani di masa yang akan datang dan merekalah yang akan menjadi pemberat timbangan Amal sholeh kita di Yaumil Akhir. Amiin

@am.yusuf

KL, 17 Oktober 2016

Tuesday, October 25, 2016

Belajar dari Karet Gelang

Ilustrasi

Anda tahu karet gelang?

Waktu kecil saya suka sekali dengan benda yang satu ini. Dikumpulkan. Di “untun” hingga menjadi tali.  Lalu bermain lompat tali dengan kawan-kawan. Saking sukanya dengan yang namanya karet ini, setiap kali ibu saya mengenakan beberapa karet di lengannya (bekas bungkusan nasi atau ikan dari warung) saya selalu merengek memintanya.

Bukan cerita itu yang ingin saya bahas.

Begini. Karet gelang itu sifatnya elastis. Kalau kita tarik dengan dua jari kita selebar-lebarnya maka  ia akan mengikuti tarikan jari kita. Melebar. Terus melebar. Sebelum akhirnya akan putus. Artinya daya elastisitas sudah habis. Dan ini tergantung bahan yang digunakan dalam pembuatan karet tersebut.

Apa pelajarannya?

Kalau kita kaitkan dengan kehidupan kita, akan banyak hal yang mirip Karet Gelang tadi. Penghasilan kita suka naik turun. Keharmonisan keluarga kita juga demikian. Bisnis, usaha, popularitas, kemapanan dan sebagainya. dan faktor luar sangat berpengaruh.

Maksud saya, orang yang kuat adalah mereka yang dapat bertahan dalam segala kondisi. Kebal dengan berbagai ujian. Tahan banting. Ketika susah sesusah-susahya, dia tetap tegar dan istiqomah, tidak hilang kawalan. Dan ketika dia kaya sekaya-kayanya dia tetap istiqomah dan tawadhu, tidak lupa daratan.

kesusahan hidup ibarat titik paling bawah dan  kekayaan yang melimpah ibarat titik paling tinggi. Semakin lebar jarak antara 2 titik dan dia masih bisa mempertahankan keistiqomahan dalam agama dan sopan santun, maka itulah orang yang kuat. Sebaliknya semakin pendek jarang antara 2 titik yang dia bisa istiqomah, maka orang itu semakin lemah. Miskin sedikit dia mengeluh dan  jika kayak sedikit dia langsung sombong.


Semoga kita bisa meniru “Si Karet Gelang”.

@am.yusuf

Saturday, October 22, 2016

3 Kunci Sukses Menjadikan Anak Hafal Al Qur'an

Ilustrasi

Memiliki anak-anak yang hafal Al Qur’an adalah idaman setiap orang tua. Karena merekalah yang akan memuliakan orangtuanya pada hari kiamat, dalam setiap kebaikan mereka di sana ada saham dan peran orang tua dan dari merekalah para orang tua akan mendapatkan doa dan bakti.

Namun apakah yang dapat kita upayakan agar anak-anak kita atau anak didik kita sukses dalam menghafal Al Qur’an?

Tentu banyak hal yang mempengaruhi dan menjadikan anak-anak kita sukses menghafal Al Qur’an. Ada faktor-faktor yang sifatnya maknawi seperti: Doa orangtua, sumber makanan dan minuman yang halal dan Hidayah serta kemudahan dari Allah SWT.

Ada juga faktor yang bersifat lahiriyah (konkrit) yang bisa diupayakan. Inilah yang akan dibahas dalam tulisan singkat ini.

Sebagaimana seorang petani yang akan menanam biji tanaman, maka selain benih dengan kualitas yang baik, diperlukan juga faktor- faktor lain yang akan menentukan tumbuh kembangnya tanaman tersebut: Kesuburan tanah, lingkungan sekitar yang mendukung dan ketelatenan sang petani.

Dalam proses mentarbiyah anak-anak kita, atau anak didik kita agar menjadi penghafal Al Qur’an, setidaknya keterlibatan 3 faktor ini sangat penting. Jika 3 hal ini baik, maka InsyaAllah hasilnya akan baik.

1.      Orang tua
Orangtua menjadi sangat penting posisinya. Karena merekalah yang meletakkan dasar pendidikan Al Qur’an di rumah. Seseorang yang sudah terbiasa membaca Al Qur’an di rumah - baik dengan ayah atau ibunya- maka ketika menginjakkan kaki di Pesantren atau Sekolah, ia sudah tidak asing lagi dengan Al Qur’an. Ia sudah terbiasa membaca, terbiasa berlama-lama dengan Al Qur’an dan sudah akrab dengannya.

Ini berbeda dengan anak-anak – atau bahkan kita – yang belum punya pengalaman cukup bersama Al Qur’an. Maka ketika dihadapkan dengan dunia menghafal, perlu proses adaptasi yang panjang dan perlu “pemaksaan” diri yang keras.

Selain itu, Doa orang tua kepada anaknya sangat berpengaruh besar. Doa dan kesholehan orangtua adalah modal bagi kesholehan anak-anak. Perhatian dan dukungan mereka juga tidak bisa tergantikan dengan perhatian dan dukungan dari guru saja.

2.      Guru (Ustadz/ Syaikh)
Imam Syafi’i menjadikan Guru (Ustadz) sebagai syarat keberhasilan dalam menuntut ilmu. Bimbingannya, keikhlasan dan kapasitas keilmuannya akan sangat mempengaruhi proses pembelajaran apa pun. Termasuk menghafal Al Qur’an.

Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mencarikan guru terbaik bagi anak-anaknya. Yaitu guru yang benar-benar memperhatikan kualitas, pemahaman murid dan perkembangan mereka. Bukan guru yang hanya sekedar menjalankan tugas dan tidak menekankan sisi kualitas.

Dalam menghafal Al Qur’an, -dalam banyak kasus- belum ada standar baku yang diterapkan oleh para guru. Akibatnya, kualitas hafalan setiap murid berbeda-beda. Ada guru yang memasang standar rendah, ia akan mempersilakan muridnya untuk meneruskan hafalan ke ayat berikutnya meskipun ayat-ayat sebelumnya tidak lancar. Namun ada juga mereka yang sangat teliti dan disiplin, “jika belum lancar, jangan tambah hafalan”. Begitu prinsipnya.

3.      Metode
Inilah bagian yang jarang disentuh dalam ceramah-ceramah atau motivasi menghafal Al Qur’an. Yaitu terkait metode, cara dan teknik menghafal Al Qur’an.

Sebenarnya sudah cukup banyak metode yang diperkenalkan. Namun tentu saja ketika kita ingin mengadopsi salah satu dari metode tersebut, apalagi untuk diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan resmi dan besar, kita perlu memilah dan mengetahui mana metode yang paling efektif dan berkualitas. Metode yang akan memudahkan dan meringankan semua yang terlibat dalam proses menghafal: Penghafal itu sendiri, Orang tua, Guru dan Pihak penyelenggara pendidikan menghafal Al Qur’an.

Metode apa saja sah untuk digunakan, terlebih jika dapat menghasilkan para hafizh yang berkualitas. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita bukan hanya butuh metode dan teknik mengahafal saja, tapi juga memerlukan metode yang sekaligus dapat memelihara dan menjaga ayat-ayat atau surat-surat yangg sudah di hafal.

Kebanyakan metode yang ada atau yang kita ketahui adalah metode untuk menghafal ayat-ayat baru saja. Sementara hafalan yang lama belum mendapat perhatian yang memadai, atau diserahkan kepada para penghafal itu sendiri.

Kehadiran metode yang komprehensif dan mudah dalam menghafal Al Qur’an mutlak diperlukan, karena ia akan membantu para pelajar yang lemah dan akan meningkatkan prestasi pelajar yang memiliki bakat.

Wallahu A’lam


@am.yusuf

Wednesday, October 19, 2016

Buta Mata, Terang Hati

Ilustrasi: Google

Sudah 2 kali moment ini berulang. Dan kami tidak ingin melewatkannya begitu saja, sayang sekali kalau tidak diambil (ditulis) untuk mengambil ibrah dan pelajarannya.

Masjid dekat kantor kami bekerja memang cukup makmur. Berbagai kegiatan dan ceramah selalu aktif di adakan setiap minggu, bahkan setiap hari. Para Imam sholatnya sangat berkompeten. Mereka para hafizh dengan kualitas hafalan dan bacaan yang sangat bagus. Bahkan beberapa kali Masjid ini mendapat penghargaan dari pemerintah Negeri Selangor (Malaysia) sebagai masjid terbaik.

Moment yang ingin kami berbagi tentangnya adalah terkait kehadiran Hafizh Qur’an dari kalangan mereka yang tidak bisa melihat. Tuna Netra. Ya, Tuna Netra. Moment tersebut berulang 2 kali di tahun 2016 dengan orang yang berbeda.

Sebenarnya mungkin hal seperti ini terjadi juga di beberapa masjid yang lain, bahkan bisa jadi di Masjid yang kami sebutkan di atas sebelumnya pernah juga. Namun karena kami bisa menyaksikannya pada tahun itu secara langsung, kami betul-betul merasa sangat kagum dan terharu.

Bagaimana seorang Buta bisa menghafal Al Qur’an 30 Juz? Padahal jumlah halamannya tidak kurang dari 604 halaman dan 114 Surat.

Ini akan lebih mengherankan lagi karena kebanyakan orang yang “melek”, pandangannya terang benderang, kebanyakan mereka tidak hafal 30 Juz. Bahkan jangankan hafal 30 Juz, Juz 30 pun kebanyakan mereka tidak menghabiskannya. Atau bahkan membaca Al Qur’an pun masih jarang-jarang (tugas kita bersama untuk memberikan pemahaman dan memotivasi kepada mereka).

Ternyata benar, bahwa menghafal Al Qur’an dan berinteraksi dengan Al Qur’an hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar menjadi pilihan Allah SWT. Mereka yang dibukakan pintu hatinya, dimudahkan jiwanya untuk tergerak menuju cahaya Al Qur’an.

Bukan sekedar otak yang pintar, fisik yang prima atau materi yang melimpah yang diperlukan untuk menghafal Al Qur’an. Namun lebih dari itu, Hidayah dari Allah SWT, hati yang bersih dan azam yang kuat menjadi faktor penentu berhasil atau tidaknya seseorang memghafal Al Qur’an.

Berkenaan dengan ini, kami menjadi teringat dengan firman Allah SWT:

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (Al Hajj: 46)

Betapa banyak orang yang diuji Allah SWT dengan kehilangan penglihatannya (buta), namun mereka memiliki pandangan hati yang jauh lebih terang dari kebanyakan orang. Sebagian mereka ada yang menjadi ulama, ilmuwan dan orang-orang yang dikenang, melebihi kita-kita yang normal.

Allah SWT pun menjanjikan pahala yang sangat besar bagi mereka yang sabar ketika diuji dengan kehilangan penglihatannya, seperti yang disabdakan Baginda SAW:

وعن أنس - رضي الله عنه - ، قَالَ : سمعتُ رسولَ الله - صلى الله عليه وسلم - ، يقول : (( إنَّ الله - عز وجل - ، قَالَ : إِذَا ابْتَلَيْتُ عبدي بحَبيبتَيه فَصَبرَ عَوَّضتُهُ مِنْهُمَا الجَنَّةَ )) يريد عينيه ، رواه البخاري .

Dari Anas ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT berfirman: Jika Aku menguji seorang hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian ia bersabar, maka Aku akan mengantinya dengan surga”. (HR. Bukhori)

Subhanallah. Semoga Allah SWT memelihara kedua mata kita yang normal ini dan tetap menganugerahkan semangat sebagaimana semangatnya 2 orang hafizh tadi dalam menghafal Al Qur’an. Amiin.


@am.yusuf

Sunday, October 16, 2016

Istana Mutiara

Ilustrasi

Kalau lagi susah, memang agak sulit untuk mengawal perasaan dan keinginan. Kalau lagi menganggur sering mengangankan pekerjaan yang ideal. Kalau lagi belum punya kendaraan, hampir selalu mengidamkan setiap kendaraan yang berlalu di hadapan. Kalau lagi belum punya isteri, selalu membayangkan betapa indahnya hidup berumah tangga.

Termasuk suatu ketika di siang hari...

Saya sekeluarga  berangkat naik kendaraan sederhana kami ke suatu tempat di daerah Jelatek, Kuala Lumpur. Ada pertemuan dan ceramah umum hari itu. Ketika melewati jalan yang agak menanjak dan berbelok-belok, tiba-tiba isteri saja berujar “Bi, banyak sekali ya condominium di sini”. Begitu komentarnya. Sangat sederhana. Tapi saya yang sudah belasan tahun berumah tangga penuh kedamaian bersamanya, sudah sangat faham. Maksudnya ia mendambakan rumah yang lebih baik dan nyaman. Itu maksudnya.

Memang di sepanjang jalan yang kami lalui itu, banyak dibangun konstruksi-konstruksi raksasa untuk condominium (apartement). Namun bukan untuk level kami sepertinya. Hanya untuk mereka yang berduit saja. Dan memang ditambah lagi saat itu  kami hanya tinggal di rumah susun sangat sederhana. Yang untuk membersihkannya kami harus rajin-rajin menyapu dan membuang sampah sendiri. Alhamdulillah, meskipun bagaimana rumah susun kami ramah alam sekitar. Tidak perlu memelihara burung dalam sangkar untuk sekedar mendengar kicauan mereka di pagi hari, sampai kucing dan tikus juga nyaman tinggal di sekitar rumah kami..he he..

Seperti biasa, saya hanya tersenyum saja mendengarnya. Mau dibalas pun saya fikir belum tentu ada gunanya.... fikiran saya malah melayang dan akhirnya hinggap di satu hadits Muttafaq Alaihi (Riwayat Imam Bukhori dan Muslim), yang mengabarkan bahwa bagi penghuni syurga akan diberikan satu istama mutiara yang tingginya 60 mil (1 mil sama dengan 1,6 km) lengkap dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.

Hadits tersebut selengkapnya adalah sebagaimana ditulis oleh Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhushsholihin, Bab: “Menjelaskan apa yang disediakan oleh Allah SWT bagi seorang mukmin di dalam syurga”.

وعن أبي موسى - رضي الله عنه - : أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - قال : (( إنَّ لِلمُؤْمِنِ فِي الجَنَّةِ لَخَيْمَةً مِنْ لُؤْلُؤَةٍ وَاحِدَةٍ مُجَوَّفَةٍ طُولُها في السَّمَاءِ سِتُّونَ مِيلاً . لِلمُؤْمِنِ فِيهَا أَهْلُونَ يَطُوفُ عَلَيْهِمُ المُؤْمِنُ فَلاَ يَرَى بَعْضُهُمْ بَعْضاً )) متفق عليه .
(( المِيلُ )) : سِتة آلافِ ذِراعٍ .


Dari Abu Musa ra, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin di dalam syurga akan diberikan satu khaimah (tenda) yang terbuat dari satu mutiara yang memiliki rongga. Tingginya 60 mil menjulang ke langit. Bagi orang mukmin tersebut di dalamnya terdapat keluarga (isteri-isteri), ia berkeliling kepada mereka namun mereka tidak saling melihat satu sama lain”. (Muttafaq ‘Alaihi). (Imam Nawawi berkata): Satu mil: 60.000 hasta.

Hadits ini jelas memberikan kabar gembira sekaligus motivasi agar kita semakin rindu dengan apa yangg ada di sisi Allah SWT dari pada apa yang ada pada manusia, menjadikan kita rindu dengan syurga daripada terlena dengan perhiasan dunia yang semu. (Dengan tetap berusaha dan giat bekerja).

Semoga Allah SWT menjadikan kita layak untuk mendapatkan Istana Mutiara tersebut. Amiin yaa Robbal ‘Alamin.


@am.yusuf

Guru Al Qur'an, Profesi Paling Mulia

Sumber Ilustrasi: Google

Diantara sekian banyak profesi, guru Al Qur’an mungkin bukan sebuah status yang membanggakan. Tepatnya bagi kebanyakan orang. Ketika mendengar istilah “Guru Al Qur’an” biasanya langsung saja yang tebayang adalah sosok sederhana yang setiap petang berada di sudut teras masjid di kelilingi anak-anak yang bising mengeja huruf-huruf Al Qur’an, atau ia berada di kelas-kelas madrasah dengan kopiah hitam atau jilbab sederhana. Mengajar puluhan anak-anak menghafal atau memahami Al Qur’an.

Sungguh nyatanya tidaklah sesederhana itu, Guru Al Qur’an adalah Profesi paling mulia. Betapa tidak, Nabi SAW menjadikan mereka sebagai sebaik-baik manusia, yaitu yang belajar Al Qur’an dan kemdian mengajarkanya (Hadits riwayat Imam Bukhori).

Mengajarkan Al Qur’an berarti kita membukakan jalan bagi manusia untuk mampu membaca Kalamullah, memahamkan mereka makna dan kandungannya dan memotivasi mereka untuk beramal dan berakhlak dengan akhlak Al Qur’an.

Menjadi Guru Al Qur’an, bukan hanya sebatas mengajarkan Kitabullah kepada beberapa orang yang ada di hadapannya, namun hakikatnya sedang meneruskan estafeta peran ulama dalam menyampaikan Hidayah kepada manusia. Pahalanya akan menjadi amal “jariyah”, terus-menerus tanpa putus. Merekalah yang menyelamatkan ummat dari Buta Al Qur’an: buta membacanya, buta memahaminya dan buta mengamalkannya.

Menjadi Guru Al Qur’an tidak mesti “melulu” harus berada di masjid, madrasah, surau atau musholla. Hakikat Guru Al Qur’an adalah siapa saja yang dengan ikhlas dan berlandaskan ilmu yang benar, menyampaikan hidayah Al Qur’an. Profesi “Guru Al Qur’an” bisa disandang oleh seorang mufassir yang menyusun kita tafsir, bisa juga di sandang oleh  seorang Doktor atau Profesor yang menyampaikan kuliah Ilmu Al Qur’an di universitas, bahkan gelar tersebut bisa disandang oleh seseorang yang berjalan sendirian menuju pelosok desa untuk mengajarkan beberapa anak-anak membaca Al Qur’an.


Ya Allah, berkahilah hidup kami dan terimalah usaha kami yang sederhana untuk menyampaikan kalam-Mu kepada manusia.

@am.yusuf

Wednesday, October 12, 2016

Secangkir Kopi atau Sehalaman Tilawah?



Secangkir kopi atau teh di pagi hari akan membuat banyak orang merasa segar, ceria dan gesit. Terlepas dari kandungan kafein yang berefek negatif jika terlalu banyak di konsumsi, namun itulah faktanya. Kopi atau teh seakan menjadi lambang kesegaran dan keceriaan.

Itu terjadi pada kebanyakan orang. Termasuk saya (jarang-jarang)

Namun pernahkah anda  membaca Al Qur’an di waktu pagi? Saya yakin anda pernah. Lalu apa yang anda rasakan? Segar bukan!. Hati menjadi tenang, fikiran jernih dan segala sesuatu menjadi terlihat positif. Semua menjadi baik-baik saja.

Betul loh, saya tidak ingin mengarang-ngarang. Karena demikianlah faktanya. Jika anda belum merasakannya, maka cobalah.

Jika kopi atau teh di pagi hariakan memberikan kesegaran kepada fisik kita, maka Al Qur’an akan menghadirkan kesegaran dalam ruh dan jiwa kita. Tidak ada lagi makanan yang lebih bergizi bagi batin dan ruh manusia selain zikir dan membaca Al Qur’an. Karena itulah salah satu jalan paling efektif untuk membangun kontak dengan Allah SWT.

Nabi SAW pernah bersabda “Ya Allah, berkahilah ummatku di waktu pagi mereka”. (HR. Abu Daud, An Nasa’i, At Tirmidzi, Ibnu Hibban dan lainnya).

Jadi waktu pagi menjadi starting point yang menentukan bagi hari itu. Jika di pagi hari kita sudah bisa  membangun hubungan komunikasi dengan Allah SWT, maka yakinlah seluruh hari itu hingga malam anda akan merasakan berbagai keberkahan. Waktu terasa lebih padat dengan kebaikan tanpa merasa lelah. Segala urusan seakan menjadi lebih mudah. Fikiran sangat terang sehingga mengalir berbagai ide-ide kreatif.

Membaca Al Qur’an di waktu pagi seakan-akan kita membuat dinding penghalang yang tebal yang akan menahan masuknya setan-setan. Sehingga kita akan bebas beraktifitas positif tanpa gangguan mereka.

Jadi, bagaimanakah cara anda meraih kesegaran di pagi hari? Dengan secangkir kopi atau sehalaman tilawah?. Kalau saya akan pilih tilawah dulu baru “ngopi” atau “ngeteh”. He.. he..


@am.yusuf

Monday, October 10, 2016

Masalah Murojaah (mengulang) Hafalan

Ilustrasi

Muroja’ah atau mengulang hafalan, umunya menjadi masalah yang cukup serius. Ketika seorang peserta tahfiz terus menambah hafalan baru setiap hari dan kurang memperhatikan sirkulasi murojaah hafalan lama, akhirnya ia akan berada di posisi “serba salah” dan “terjepit”.

Artinya, ia akan terjebak pada pola “pindah hafalan” bukan menambah hafalan. Hafalan baru bertambah terus, namun tidak pernah atau kurang di muroja’ah. Ia hanya berpindah dari sutu surat ke surat yang lain atau dari satu Juz ke Juz yang lain. Namun ketika ia pindah, hafalan lama ikut hilang. Misalnya ia hafal 10 Juz, namun kalau diteliti dan mau jujur mungkin hanya 2 atau 3 juz saja yang lancar. Yang lain seperti kembali asing di lidah.


Dengan Konsep YUSMI, setiap pelajar tidak akan menjadi terbengkalai demikian. Setiap paket yang kami berikan kepada santri YUSMI, lengkap dengan tugas Muroja’ah Hafalan Baru (Muroja’ah of Last Hifz) dan Muroja’ah Hafalan Lama (Muroja’ah of Old Hifz). Sehingga dapat dipastikan bahwa para santri atau peserta tahfiz memiliki sistem sirkulasi murojaah yang lancar.

Saturday, October 8, 2016

Mengaji Bersama Keluarga

Keberkahan itu senantiasa datang walau saat kita sangat sibuk. Hari-hari yang sangat padat dengan kebaikan InsyaAllah akan menghadirkan berjuta keberkahan. Waktu terasa lebih bermakna, produktif dan memuaskan.

Diantara aktivitas yang akan membawa keberkahan adalah kegiatan mengaji bersama keluarga di rumah. Bersama isteri, anak-anak dan bahkan si kecil yang masih bayi. Mereka membaca, mengeja, bertalaqqi dan menghafal. Meskipun dengan terbata-bata dan susah, InsyaAllah akan menjadi budaya keluarga di masa hadapan. Mereka akan akrab dengan Al Qur'an. Tidak akan ada penolakan lagi jika di suruh membuka lembaran-lembaran mushaf itu. Bahkan mereka akan merindukannya.

Nabi berpesan "jangan jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan". Sepi, sunyi, menyeramkan dan membuat tidak betah. Terangilah "kegelapannya" dengan cahaya Al Qur'an, dengan raka'at-raka'at sholat sunnah dan kajian-kajian yang bermanfaat (jika memungkinkan).

Jika demikian, InsyaAllah sakinah, mawaddah dan rahmah akan selalu hadir.

@am.yusuf

Wednesday, October 5, 2016

7 Kewajiban Kita Kepada Al Qur'an (Bagian 2)

Sumber Ilustrasi: Google

4.      Mentadabburi ayat-ayat Al Qur’an[1]

Tadabbur juga merupakan kewajiban kita kepada Al Qur’an. Bahkan ia merupakan salah satu tujuan diturunkan Al Qur’an, Allah I berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
"Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan keberkatan, untuk mereka perhatikan ayat-ayatnya, dan agar orang yang berakal mengambil iktibar " (Saad 38: 29)
Juga dalam firmannya:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka adakah mereka sengaja tidak berusaha memahami serta memikirkan isi Al-Qur'an? Atau telah ada di atas hati mereka kunci penutup?” (Muhammad 47: 24)
Tadabbur bermakna memahami dan merenungi ayat-ayat Allah I, baik Ayat Qauliyah (Firman Allah I) atau Ayat Kauniyah (ciptaan Allah I), merasakan dan mensyukuri segala nikmat Allah I sehingga akan lahir pengagungan kepada dzatNya, penghambaan dan ketaatan penuh kepada perintahNya.

5.      Menghafal ayat-ayat Al Qur’an

Para Ulama berpendapat bahwa menghafal Al Qur’an secara sempurna 30 Juz merupakan Fadhu Kifayah[2]. Cukup ditunaikan oleh sebagian kaum Muslimin dan kewajiban ini akan gugur dari sebagian yang lain jika ditunaikan dengan sempurna.

Tetapi ada 2 perkara yang mesti kita perhatikan berkenaan fardhu kifayah dalam menghafal Al Qur’an ini. Pertama: Kifayah bermakna cukup, artinya jumlah penghafal Al Qur’an harus cukup dan mewakili dari jumlah kaum Muslimin yang saat ini sudah berjumlah 1.5 Milyar lebih. Sedangkan para penghafal Al Qur’an jumlahnya masih terlalu sedikit. Kedua: apabila kita hanya menunggu orang lain yang menunaikan kewajiban ini, maka akan ada banyak pahala dan keutamaan yang hilang dan luput dari kita. Betapa besar keutamaan para penghafal Al Qur’an dan betapa hebat kedudukan mereka di sisi Allah I, baik ketika hidup di dunia atau pun kelak ketika kembali ke Akhirat[3].

Cukuplah dua hadits Nabi r ini menjadi motivasi dan penyemangat kepada kita untuk senantiasa berusaha dalam menghafal Al Qur’an, Baginda r bersabda:

عن ابن عباسٍ رضي الله عنهما ، قَالَ : قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( إنَّ الَّذِي لَيْسَ في جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنَ القُرْآنِ كَالبَيْتِ الخَرِبِ )) رواه الترمذي ، وقال : (( حديث حسن صحيح ))
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Rasulullah r bersabda : " Sesungguhnya seseorang yang dalam dadanya tidak ada sedikit pun Al Qur'an, maka ia bagaikan rumah yang rusak". (Riwayat Tirmidzi, dan ia berkata : Hadits Hasan Shahih)

عن عبد اللهِ بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما، عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : (( يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ : اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ في الدُّنْيَا ، فَإنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آية تَقْرَؤُهَا )) رواه أَبُو داود والترمذي ، وقال : (( حديث حسن صحيح )) .

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, dari Nabi r ia bersabda : " Akan di katakan kepada Shohibul Qur'an (orang yang banyak berinteraksi dengan Al Qur'an) : Bacalah, naiklah dan bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya ketika di dunia, sesungguhnya tempatmu (di surga) berada di akhir ayat yang engkau baca". (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi berkata : hadits hasan shahih)

6.      Mengamalkan ajaran Al Qur’an

Allah I menurunkan Al Qur’an sebagai Huda (petunjuk) supaya diamalkan oleh manusia. Pengamalan Al Qur’an merupakan bagian yang tidak dapat kita pisahkan dari kewajiban kita kepada Kitabullah. Apalah artinya ketika kita membaca dan kita faham Al Qur’an, tatapi kita tidak mengamalkannya. Allah I mengancam mereka yang berperilaku seperti ini dengan firmannya:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Patutkah kamu menyuruh manusia berbuat kebaikan sedang kamu lupa akan diri kamu sendiri; padahal kamu membaca Kitab Allah, tidakkah kamu berakal? (Al Baqarah 2: 44)

Dalam pengamalan Al Qur’an, Islam tidak mengenal sikap Juz’iyyah (parsial, mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain). Islam menuntut pengamalan secara sempurna hukum-hakam Islam dalam semua sisi kehidupan: peribadi, keluarga, masyarakat, perundang-undangan, ekonomi, politik dan sebagainya. Dan setiap kita bertanggung jawab atas pengamalan Al Qur’an ini sesuai dengan kapasitas masing-masing.

7.      Mendakwahkan Al Qur’an

Dakwah kepada Islam bukan saja kewajiban para ulama dan juru dakwah, ia merupakan kewajiban kita semua. Setiap kebaikan yang kita lakukan dan setiap usaha ke arah Islam yang kita gemakan, kecil atau pun besar itulah dakwah Islam. Dakwah Al Qur’an merupakan inti dari Dakwah Islam. Tiada Islam tanpa Al Qur’an.

Dakwah Al Qur’an bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari: mengajar Al Qur’an, program wakaf Al Qur’an, membangun pesantren atau pondok Al Qur’an sampai kepada usaha mengkampanyekan isu kembali kepada syari’at Islam dan perundang-undangan Islam.

Mush’ab bin Umair, seorang sahabat dekat Rasulullah r pergi ke Madinah memenuhi permintaan Sang Baginda r. Ia ajarkan Al Qur’an dan hukum-hukumnya kepada penduduk Madinah, sehingga tidak ada satu pun dari rumah-rumah di Madinah kecuali Islam telah masuk ke dalamnya.
Sungguh besar pahala mereka yang berdakwah dan sungguh mulia kedudukan mereka di sisi Allah I. Dalam firmannya Allah I menyatakan:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan tidak ada yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan beramal salih, sambil berkata: Sesungguhnya aku dari orang Islam!” (Fushshilat 41: 33)

Dan berkenaan pahala serta keutamaan mereka yang berdakwah, Rasulullah r bersabda:
عن أَبي هريرة  رضي الله عنه: أنَّ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ : (( مَنْ دَعَا إِلَى هُدَىً ، كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أجُورِ مَنْ تَبِعَه ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أجُورِهمْ شَيئاً ، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ ، كَانَ عَلَيهِ مِنَ الإثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيئاً )) رواه مسلم .
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah r bersabda: “ Sesiapa yang menyeru kepada Hidayah, niscaya ia akan memperoleh pahala sebanyak pahala orang yang mengikuti seruannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan sesiapa yang menyeru kepada kesesatan, niscaya ia akan ditimpakan dosa sebanyak dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka”. (Riwayat Muslim).

Demikanlah tujuh kewajiban kita kepada Al Qur’an, yang semuanya mesti kita tunaikan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita. “Allah tidak membebani seseorang kecuali ebatas kadar kemampuannya”. Wallahu A’lam.

@am.yusuf



[1] Tema tentang tadabbur ini dibahas secara khusus dalam bagian IV dalam buku ini di bawah tema “Mambangun Jiwa Bertadabbur”.
[2] Kewajiban yang apabila telah ditunaikan oleh sebagian kaum Muslimin, maka kewajiban ini akan gugur daripada yang lain. Namun dengan syarat adanya kecukupan. Secara bahasa Kifayah bermakna cukup.
[3] Pembahasan mengenai menghafal Al Qur’an akan penulis bahas secara detail dan menyeluruh dalam bagian V dari buku ini. Di sana akan di bahas keutamaan menghafal Al Qur’an, cara mudah menghafal serta solusi bagi berbagai permasalahan yang biasa dijumpai ketika menghafal.